Mengubah Stigma Negatif Masyarakat Terhadap Penyandang Disabilitas Melalui Edukasi dan Pemberdayaan
Jika mendengar tentang penyandang disabilitas, apa yang akan kita
pikirkan apabila pertanyaan mengenai penyandang disabilitas terdengar ditelinga
kita? Banyak masyarakat umum memandang penyandang disabilitas merupakan suatu
kekurangan, dan kerendahan yang mereka anggap begitu menyengsarakan. Tetapi
sebenarnya penyandang disabilitas merupakan manusia yang sama sebagaimana
manusia normal lainnya, hanya saja karena adanya ketetapan yang tuhan berikan,
maka perlu ada perlakuan yang khusus yang perlu diberikan kepada penyandangnya.
Berdasarkan UU No.8 Tahun 2016 Ayat 1 tentang Penyandang
Disabilitas. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik, dalam jangka waktu lama
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara berdasarkan
kesamaan fisik. Penyandang disabilitas secara sosial juga memerlukan adanya
interaksi dan juga komunikasi serta upaya memenuhi kebutuhan hidup sebagaimana
mestinya dalam menjalani kehidupan.
Masyarakat sebagian masih memiliki pandangan yang negatif terhadap
para penyandang disabilitas, dibuktikan bahwa anggapan kaum disabilitas itu
lemah dan tidak berdaya yang merupakan public
stigma, sementara faktanya tidak demikian (Dhairyya
& Herawati, 2019). Haidar (2012) mengungkapkan anggapan negatif terhadap disabilitas
muncul karena kurangnya pengetahuan disabilitas, dan paham masyarakat yang
masih cenderung mengaitkan dengan pemikiran tradisional yang negatif seperti contohnya adlah kutukan turunan. Berbeda halnya dengan Sinulingga (2015) stigma
negatif pada penyandang disabilitas muncul karena masyarakat mengacu pada paham
“nominalisme” yang menganggap disabilitas sebagai kaum abnormal yang perlu
diperlakukan untuk dikasihani.
Terkait dengan stigma yang beredar mengenai anggapan negatif
terhadap penyandang disabilitas yang mereka terima. Stigma yang dilontarkan pun
terjadi dalam beberapa bentuk seperti bullying, hinaan, diskriminasi yang
merendahkan bahkan anggapan hanya sebagai beban bagi keluarga (Widyastuti &
Pribadi, 2019). Sedangkan hal-hal tersebut, termasuk diskriminasi merupakan
diantara bentuk pelanggaran melekat pada nilai martabat setiap orang
berdasarkan UU Republik Indonesia No.19 Tahun 2011. Permasalahan ini menjadikan
catatan bahwa perlu adanya edukasi yang dilakukan sebagai upaya pencegahaan dan
penanggulangan ancaman akan terjadinya perlakukan negatif kepada penyandang
disabilitas yang ada, baik edukasi yang dilakukan terhadap para penyandang
disabilitas maupun masyarakat secara khusus.
Berbicara mengenai edukasi, pemerintah di salah satu kota di
Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Kota Malang menerapkan solusi yang tepat bagi
penyandang disabilitas sebagai role model, berupa program pelatihan dari
Dinas Sosial Kota Batu untuk menumbuhkan motivasi dan semangat berinovasi para penyandang disabilitas agar terus berkarya, sebagai
bentuk peningkatan kepercayaan diri mereka mengubah stigma masyarakat atas
anggapan negatif terahdap mereka. Dengan manfaat pelatihan
yang dikategorikan menjadi tiga berupa perilaku (attitude), pengetahuan (knowledge),
dan keterampilan(skill) (Widodo, 2018
:13).
Seorang aktivis penyandang disabilitas asal Kabupaten Klaten
bernama Ibu Lestari, pernah mengatakan bahwa diantara upaya dalam mengedukasi
penyandang disabilitas adalah dengan mengajak mereka melakukan
kegiatan-kegiatan positif yang bernilai, beliau merupakan seorang Founder
Komunitas Autis Kabupaten Klaten yang bernama Sanggar Insan Harapan beliau
membina anak-anak autis dengan mendidik dan memberdayakan mereka dengan
melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu menghasilkan karya dan membentuk
keterampilan dan mengasah kemampuan mereka, diantaranya mengajarkan anak-anak
autis melukis, memasak dan mengolah suatu produk, atau aktivitas lainnya.
Adanya terobosan ini menyadarkan bahwa tugas utama yang perlu dimiliki oleh setiap orang dan disabilitas adalah kemandirian (Hasnah, dkk, 2015). Dengan memberikan motivasi bagi para penyandang disabilitas untuk dapat bermanfaat, dan mengatakan bahwa mereka juga mampu memberikan kontribusi berupa prestasi, dan mampu menghasilkan penghasilan untuk kehidupan mereka secara mandiri serta mampu mengenalkan produk unggulan kepada masyarakat, sekaligus sebagai bukti bahwa para penyandang disabilitas merupakan orang-orang yang memiliki masa depan yang sama sebagaimana manusia normal lainnya, dan menyadarkan masyarakat akan stigma negatif yang tersebar, sebagai suatu pemikiran yang salah, bahkan justru mampu membalikan fakta bahwa mereka adalah orang yang berhak mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak, sebagaimana Ibu Lestari pernah mengatakan “Bertemu dengan anak-anak penyandang disabilitas bukan dikasihani, tetapi dipahami dan diberikan kesempatan”.
Referensi:
Dhairyya,
A. P., & Herawati, E. (2019). Pemberdayaan Sosial dan Ekonomi pada Kelompok
Penyandang Disabilitas Fisik di Kota Bandung. Umbara, 4(1), 53.
https://doi.org/10.24198/umbara.v4i1.19039
Widhiati,
R. S. A., Malihah, E., & Sardin, S. (2022). Dukungan Sosial dan Strategi
Menghadapi Stigma Negatif Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan. Jurnal Paedagogy, 9(4), 846. https://doi.org/10.33394/jp.v9i4.5612
Widyastutik,
C., & Pribadi, F. (2019). Makna Stigma Sosial Bagi Disabilitas di Desa
Semen Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Administrasi Negara, 1(1), 105–112.
Ansfridho,
A. X., & Setyawan, D. (2019). Efektivitas Pencapaian Kinerja Program
Pelatihan Bagi Penyandang Disabilitas. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, viii(2),
55–63.
Widhiati,
R. S. A., Malihah, E., & Sardin, S. (2022). Dukungan Sosial dan Strategi
Menghadapi Stigma Negatif Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan. Jurnal Paedagogy, 9(4), 846. https://doi.org/10.33394/jp.v9i4.5612