Anak Berkebutuhan Khusus (Difabel)

Sekitar tahun 1990-an, di Indonesia muncul pula istilah ‘difabel’ singkatan/kependekan dari ‘differently abled’ sebagai counter terhadap penggunaan istilah penyandang cacat yang dinilai dan dirasa stigmatis (Suharto, 2011, p. 52). Istilah ini digunakan dengan argumen bahwa mereka bukan berketidakmampuan – sebagai terjemahan dari disability, melainkan memiliki kemampuan yang berbeda.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pada hakikatnya manusia tercipta tidak ada yang sempurna. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Masing-masing orang memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari perbedaan tersebut diharapkan untuk kita bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Pada kenyataannya dalam masyarakat kita masih sering melihat adanya pandangan yang negative dan cenderung menganggap rendah terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan dan kemampuan (diffable). Diffabel hanya dianggap sebagai sampah masyarakat yang harus disingkirkan dan dijauhkan dari kehidupan bermasyarakat. Melihat kondisi seperti itu sangatlah dibutuhkan sebuah konsep pendidikan yang didalamnya mengandung nilai-nilai toleransi.


Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain berakar dari pola pikir pada masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas. Sejarah telah memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya kelihatan atau dipandang sebagai ‘berbeda’ dari yang dianggap oleh masyarakat sebagai normatif, sebagai normalitas, akan dianggap sebagai yang tidak diinginkan/not desirable dan tidak dapat diterima/not acceptable sebagai bagian dari komunitas (Couser, 2009, h.1; Rothman, 2003, h. 4-7). Pelabelan negatif sebagai ‘berbeda dari yang diterima sebagai normalitas’ adalah suatu proses stigmatisasi. Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi/ pelabelan negatif tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut antara lain berupa pemisahan secara paksa dan bersifat membatasi/segregation, atau pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral dan/atausetara/social exclusion, atau dinilai kurang/tidak bernilai secara sosial/socially devalued ((Shapiro, 2000, h. 124; Stool, 2011, h.36-37; Wolfensberger, 1992).


Hal ini juga dapat kita lihat dalam sistem pendidikan, dimana Anak-anak dengan kebutuhan khusus seringkali ditolak untuk masuk ke sekolah biasa di mana anak-anak normal bersekolah. Penolakan oleh sekolah-sekolah ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah letak sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB)yang jauh dari tempat tinggal siswa dengan kebutuhan khusus tersebut jarak yang jauhdan sulitnya sarana transportasi menuju ke SLB. Ketidakmampuan sekolah umum untuk mendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) karena pola berpikir mereka bahwa anak dengan kebutuhan khusus harusnya disekolahkan di SLB. Dan juga Tidak ada sarana dan prasarana yang dapat mendukung kelangsungan belajar siswa ABK di sekolah biasa misalnya ruangan inklusif yang digunakan untuk melayani ABK baik di kala jam pelajaran normal atau sepulang sekolah.

Tentu saja kita haruslah memberikan hak-hak yang adil bagi mereka meskipun difabel, karena mereka merupakan warga Negara Indonesia dan Negara haruslah memfasilitasi kebutuhan yang mereka harus dapatkan.

29 Mar 2021 - 08:26:56, MUHAMMAD ZAKKI A. (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta)